Hukum Jima' di Bulan Ramadhan dan Penjelasannya
Hadits 562 Di Kitaabus Shiyaam
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : جاء رجل إلي النبي صلي
الله عليه و سلمفقال : هلكت يا رسول الله, قال : ((وما أهلكك؟ قال : وقعت علي
امرتي في رمضان.فقال : ((هل تجد ما تعتق رقبة؟)) قال: لا, قال : ((فهل تستيع أن
تصوم شهرينمتتابعين؟)) قال : لا, قال : ((فهل تجد ما تطعم ستين مسكينا؟)) قال :
لا, ثم جلس,فأتي النبي صلى الله عليه و سلم بعرق فيه تمر, فقال: ((تصدق بهاذا))
فقال "أعلى أفقر منا؟! فما بين لابتيها أهل بيت أوحج إليه منا, فضحك النبي
صلي الله عليهو سلم حتي بدت أنيابه: ثم قال ((اذهب فأطعم أهلك)) رواه السبعة, و
اللفظ لمسلم.
Dari Abu Hurairoh–rodhiyallahu
'anhu-, dia berkata, "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah–shallallahu
'alaihi wa sallam-, lelaki tersebut mengadu, "Celaka saya
wahaiRasulullah", beliau bertanya, "Apa yang mencelakakanmu?",
dia menjawab, "sayatelah menyetubuhi istri saya di (siang) bulan
Ramadhan", lantas beliaubertanya, "Apakah kamu bisa membebaskan
seorang budak?", dia menjawab, "Tidak",lalu beliau bertanya
lagi, "Apakah kamu mampu shaum dua bulan berturut-turut?",dia
menjawab, "Tidak". Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu bisa
memberi makan 60orang miskin?", dia menjawab, "Tidak". Kemudian
beliau duduk. Kemudian Nabi–shallallahu 'alaihi wa sallam- dibawakan senampan
kurma. Lalau beliaumemerintahkan lelaki tersebut, "bersedekahlah dengan
ini", dia menyangkal,"Apakah ada orang yang lebih fakir daripada
kami?" Tidak ada di Madinah (-pent)ini yang lebih membutuhkannya daripada
kami. Maka nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- tertawa sambai kelihatan gigi
taring beliau. Kemudian beliaumemerintahkan, "pergilah, dan berilah kurma
ini untuk keluargamu". Diriwayatkan oleh Imam yang tujuh (sab'ah).
Faedah
Hadits:
- Orang yang
berjima' (bersetubuh) di siang Ramadhan tersebut adalah Salamah bin Shokhr
Al Bayyadh dari Bani Bayaadhoh, salah satu dari Bani Anshor AlKhuzro'i
- Jima' disiang
Ramadhan merupakan kemungkaran yang besar dan mencelakakan, dan
nabi–shallallahu 'alaihi wa sallam- mengakui bahwa perbuatan tersebut
mencelakakan.
- Jima' secara
sengaja mewajibkan kafarat yang berat, yaitu secara berurutan, pertama :
membebaskan budak. Jika dia tidak mampu, maka shaum dua bulan
berturut-turut. Jika dia tidak mampu, maka dia harus memberi makan 60
orang miskin.
- Ungkapan
sebulan tidak dengan hitungan hari (30 hari), tetapi jika dia memulai
shaum pada tanggal 15 Rabiul Awwal maka dia selesai dengan berakhirnya
tanggal 15 Jumadil Awwal.
- Tidak adanya
tindakan kekerasan terhadap orang yang taubat terhadap perbuatan maksiat
yang dilakukannya.
- Bahayanya jima'
pada shaum wajib, pada shaum wajib lebih bahaya lagi, berdasarkan perkataannya,
"celaka aku!", karena adanya kewajiban kafarat.
- Jima' disiang
Ramadhan mewajibkan kafarat, karena mulianya waktu tersebut, adapun jima'
pada saat Qodho' (mengganti hari Ramadhan karena sakit atau safar –pent)
selain di bulan Ramadhan maka hukumnya haram tetapi tidak mewajibkan
kafarat tersebut. Barangsiapa yang berjima' di siang Ramadhan, maka wajib
baginya qodho' dan kafarat, ini adalah madzhab imam yang empat.
- Kafarat tidak
gugur dari orang yang tidak mampu, hadits di atas tidak lah menunjukkan
atas gugurnya kewajiban kafarat, secara asal kafarat tersebut ada
tanggungannya.
- Bolehnya orang
lain menggugurkan kafaratnya, walaupun orang asing (ajnabiy) dengan syarat
orang yang menggugurkan tersebut mengetahuinya. Karena ibadah itu butuh
niat.
- Kafarat bagi
orang yang tidak mampu adalah memberi makan untuk dirinya dan untuk
keluarganya jika yang memberi makanan tersebut adalah orang lain. Adapun
jika dia (si pelaku jima') yang mempunyai makanan, maka tidak gugur dengan
memberi untuk dirinya dan keluarganya saja.
- Baik dan
mulianya akhlak nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- , sungguh lelaki
tersebut datang dengan rasa takut mengadu celaka, tapi beliau tenang dan
senang bersamanya dan memberi makan untuknya dan keluarganya
- Kafarat
tersebut wajib bagi orang yang tanpa udzur berbuat jima' di siang Ramadhan
sebagai hukuman dan pelajaran bagi dirinya dan bagi orang lain, serta
untuk menghapus dosanya, dan agar dia tidak meremehkannya. Kafarat
tersebut sebagai penyuci. Jima' merusak shaum berdasarkan Al Qur'an,
As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas.
- Jima' yang
mewajibkan kafarat adalah masukkan dzakar (kemaluan) di depan ataupun di
belakang kemaluan istrinya, walaupun tidak keluarnya air mani. Adapun
keluar air mani dengan sentuhan tanpa memasukkan kemaluan, maka shaumnya
batal dan mendapat dosa, akan tetapi tidak mewajibkan kafarat.
- Istri yang
dijima' jika dia ingat dan adanya kemampuan maka dia mendapat kafarat,
qodho', dan dosa sebagaimana yang di dapat oleh suaminya. Karena
secara asal penyetaraan keduanya (suamiistri) di dalam hukum. Adapun jika
istri tersebut tidak ada kemampuan (dipaksaoleh suaminya), maka shaumnya
tetap sah dan tidak ada qodho' baginya,berdasarkan hadits, "Umatku
dimaafkan dari ketidaksengajaan, lupa, dan yang dipaksa".
- Yang masyhur di
madzhab Imam Ahmad adalah jika telah terbit fajar, ketika itu orang yang berjima'
melepaskan kemaluannya, maka dia tetap wajib qodho' dan kafarat, karena
melepas kemaluan itu adalah jima' menurut madzhab tersebut. Adapun menurut
ketiga imam lainnya, melepas kemaluan bukanlah termasuk jima', maka
seandainya telah terbit fajar, sementara sesorang berjima' kemudian
melepas kemaluannya dalam keadaan demikian, maka tidak ada qodho' dan
tidak ada kafarat, pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin.
- Bolehnya
seseorang mengadu kedaannya kepada orang yang mampu membantunya jika
pengaduannya itu tidak menghinakannya
- Bolehnya
seseorang memberitahukan apa yang tidak diketahuinya secara pasti, jika
diamemiliki dugaan yang kuat. Seperti perkataan lelaki tersebut,
"Tidak ada penduduk di Madinah ini yang lebih membutuhkan dibanding kami",
ini adalah pemberitahuan berdasarkan dugaan, karena keyakinan itu butuh
kepada penelitian penduduk Madinah rumah ke rumah.
Perbedaan
Pendapat Para Ulama
Para ulama sepakat (ijma') atas
wajibnya kafarat bagi orang yang jima' dengan sengaja dan ingat dibulan
Ramadhan, tetapi mereka berselisih tentang orang yang melakukannya karena lupa
atau karena dipaksa.
Imam Abu Hanifah berpendapat,
wajibnya qodho' tanpa kafarat bagi yang lupa atau dipaksa. Imam Asy Syafi'I dan
jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang berjima' karena lupa maka tidak ada
qodho', tidak juga kafara, ini juga pendapat imam Ahmad menurut salah
satu riwayat darinya. Pendapat ini juga dipilih oleh sejumlah pengikut imam
Ahmad, diantaranya syaikhTaqiyyuddin dan Ibnul Qoyyum, serta yang lainnya.
Adapun yang masyhur dari Imam Ahmad dan madzhab Zhohiriyyah adalah wajibnya
kafarat dan wajibnya berbuka bagi orang yang berjima' karena lupa atau karena
tidak tahu atau kerana dipaksa, karena jima' adalah pembatal yang paling berat
dengan sebab adanya syahwat dan kelezatan yang menafikan maksud dari shaum, dan
menafikan penyerahan diri kepada Allah. Di dalam hadits qudsi, "dia
meninggalkan makanannya dan syahwatnya karena Aku". Alasan lainnya
adalah tidak logis adanya lupa dan dipaksa pada jima', sesungguhnya syahwat itu
jika menggejolak maka hilanglah keterpaksaan dan jadilah sebuah pilihan bagi
dirinya untuk melakukannya.
Adapun ulama yang berpendapat
tidak batal dan tidak ada kafarat bagi orang yang berjima' karena lupa dan
terpaksa, mereka berargumen dengan sejumlah dalil, diantaranya:
v Firman Allah ta'ala, "Wahai Rabb kami, janganlah
Engkau menghukumi kami jika kami lupa atau tidak sengaja"
v Sabda nabi –shallallahu'alaihi wa sallam-
"Umatku diampuni dari ketidaksengajaan, lupa dan yang dipaksa"
v Hadits yang dibahas ini berlaku untuk orang yang
sengaja melakukannya
v Berdasarkan ijma', tidak ada dosa atau hukuman dunia
atau di akhirat bagi orang yang berjima' karena lupa, maka demikian juga tidak
adanya kafarat
v Orang yang lupa atau terpaksa sama saja dengan tidak
melakukannya, dan tidak benar menisbatkan perlakuan tersebut kepadanya, karena
perbuatan itu dinisbatkan kepada pelaku yang memiliki niat, sementara orang ini
tidak memiliki maksud atau pun keinginan.
v Syaikh AbdurRahman As Sa'diy berkata, "Yang
benar adalah bahwa orang yang berjima' karenalupa atau dipaksa maka tidak batal
dan tidak ada kafarat baginya, sebab Allah mengampuni orang yang lupa atau
tidak sengaja".
v Adapun wanita (istri), jika dia punya kemampuan untuk
berjima' (tidak dipaksa), maka menurut imam yang tiga dia wajib kafarat, adapun
menurut Imam Asy Syafi'I tidak ada kafarat baginya. Pendapat jumhur ulama lah
yang benar, sebab ada sebagian riwayat hadits, "celakalah aku dan aku
telah mencelakakan", zhohir hadits ini menunjukkan bahwa istrinya dipaksa.
Para ulama pun berbedapendapat,
apakah kafarat gugur dengan kemiskinan dan ketidakmampuan. Ada dua pendapat
dalam masalah ini.
Imam Ahmad berpendapat gugurnya
kafarat tersebut, karena nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- memberi rukhshoh
(keringanan) kepada lelaki tersebut untuk memberi kurma dirinya dan
keluarganya,seandainya itu adalah kafarat, maka tidak halal baginya dan
keluarganya.
Adapun menurut jumhur (mayoritas)
ulama tidak gugur kafaratnya dengan sebab kemiskinan dan ketidakmampuannya,
karena hadits tersebut tidak menunjukkan hal itu, bahkan secara zhohir hadits
ini menunjukkan tidak gugurnya kafarat tersebut, karena nabi –shallallahu
'alaihi wa sallam- ketika bertanya kepada orang yang berjima' tentang derajat
kafarat yang paling rendah yaitu memberi makan, dia berkata,"Saya tidak
mampu", lantas beliau diam dan tidak membebaskan tanggungan lelaki
tersebut. Secara asal bahwa kafarat tersebut tetap ada, dan sebagai qiyas
dengan kafarat ini kafarat-kafarat lainnya dan qiyas dengan hutang yang tidak
gugur karena ketidakmampuan.
Adapun keringanan (rukhsoh)
kepadanya dengan memberi makan kafarat untuk keluarganya, maka sesungguhnya
orang yang wajib melaksanakan kafarat jika telah digugurkan oleh orang lain,
maka boleh baginya untuk memakan sebagian dari makanan kafarat tersebut, dan
memberinya untuk keluarganya.
Diterjemahkandari Kitab Taudhihul
Ahkam min Bulughil Marom, Kitabussiyam
No comments:
Post a Comment