Belajar tentang difinisi Harta, Riba’ dan Jual Beli dalam Islam.
Harus diakui sebagian besar umat Islam di
seluruh belahan dunia saat ini disadari maupun tidak telah terjerumus ke dalam
sistim kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Ini tidak saja hanya dalam
hal penerapan namun juga dalam cara memandang hakikat kehidupan dan pokok
ajarannya. Padahal ini adalah hal yang paling mendasar.
Kehidupan dunia yang gemerlap tampak makin
menyilaukan mata. Konsumerisme, materialistme dan egoisme menjadi pemandangan
yang umum dan hal biasa. Uang dan materi adalah tujuan. “Tak ada sesuatu
yang tak mungkin selama ada uang“ telah dijadikan semboyan dan prinsip umum
hampir semua lapisan masyarakat terutama di perkotaan. Transaksi apapun
ujungnya selalu materi. Ini yang akhirnya menyebabkan hilangnya arti
persaudaraan, rasa saling mengasihi dan rasa kemanusiaan.
Padahal justru inilah ruh, inti ajaran Islam.
Islam mengajarkan bahwa harta adalah sesuatu yang dalam keadaan normal dapat
dimiliki dan dapat dimanfaatkan sesuai syariah bukan sebagai sesuatu yang
memiliki nilai ekonomis baik benda atau manfaat/jasanya sebagaimana yang saat
ini difahami secara umum. Disamping itu dalam Islam semua harta adalah milik
Allah. Manusia hanya mendapat amanah untuk menjaga harta tersebut. Ia diizinkan
memanfaatkan titipan tersebut selama tidak bertentangan dengan kehendak Si
Empunya harta. Dengan kata lain harus sesuai syariah. Dan pada saatnya kelak ia
harus mempertanggung-jawabkannya kepada Sang Khalik.
Itu sebabnya seorang Muslim harus mengetahui
betul apa kehendak-Nya. Yaitu dengan cara mempelajari dan memahami isi
Al-Quran, hadits dan apa yang dicontohkan ke-empat Khulafaul Rasyidin. Namun
bila ketika masa hidup Rasul dan para sahabat tidak ada contohnya maka ijma
para alim ulama salaf maupun kontemporer dapat dijadikan rujukan dan pegangan.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia
adalah ladang untuk mencari ridho’Nya. Makin besar manfaat seseorang terhadap
orang lain makin besar dan tinggi pula penilaian orang tersebut dalam pandangan
Allah swt. Demikian pula dengan hartanya. Makin besar harta seseorang tersebut
memberi manfaat kepada orang lain makin besar pula imbalan yang akan
didapatnya. Imbalan ini tidak hanya diberikan kelak di surga ketika orang
tersebut meninggal namun juga ketika ia masih di dunia.
“…….. Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS.At-Thalaq(65):2-3).
Kebaikan di dunia didapatnya karena orang
yang menerima kebaikan darinya mendapat petunjuk dari Allah swt agar membalas
kebaikan orang tersebut. Jadi tidaklah aneh bila makin banyak orang yang
menerima manfaat makin banyak pula si pemberi manfaat memperoleh balasan
kebaikan orang yang diberinya manfaat. Ini adalah hukum alam. Karena Allah
adalah penggerak hati manusia.
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw,
beliau bersabda : “ Jika Allah mencintai hamba-Nya, Allah memanggil Jibril.
Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan maka cintailah si Fulan. Maka Jibrilpun
mencintainya ( Si Fulan). Kemudian Jibril memanggil penduduk langit. “
Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan”, maka seluruh penduduk langitpun ikut
mencintainya pula. Begitupun penerimaan penduduk bumi ”. ( HR. Bukhari dan
Muslim).
Oleh karenanya dalam hidup ini yang harus
dicari seorang hamba adalah ridho’ Allah swt.
“ Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”.(QS.Baqarah(2):275).
Ayat diatas dengan jelas membedakan antara
perbuatan riba dan jual beli. Allah tidak melarang jual beli. Bahkan dalam
rangka mencari keuntungan Allah tidak pernah memberi batasan berapa besar
seseorang boleh menjual barangnya. Dengan catatan tidak ada paksaan bagi
pembeli untuk membeli barang tersebut.
Sebaliknya ketika seseorang berhutang, si
pemberi hutang dilarang mengambil keuntungan. Ia tidak boleh menerima kelebihan
pengembalian hutang walaupun si penghutang rela melakukannya. Kenapa demikian?
Karena orang yang berhutang pada hakekatnya adalah orang yang dalam kesulitan.
Ia memerlukan bantuan. Dalam Islam orang mampu wajib membantu orang yang dalam
kesusahan dan kesempitan. Dan dalam membantu ini, ia tidak boleh mencari
pamrih, mengharap imbalan atau mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan
kesempitan orang lain. Bahkan ketika orang yang berhutang benar-benar tidak
mampu mengembalikan hutangnya, Allah akan membalas dengan balasan yang besar
bagi si pemberi hutang yang rela membebaskan orang yang dalam kesulitan
tersebut.
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):280).
Jadi jelas hutang adalah perbuatan sosial
sementara jual beli adalah perbuatan komersial. Atas dasar inilah sistim
syariah dalam perbankan Islam dikembangkan. Untuk menghindari riba, yaitu
kelebihan pengembalian uang/harta pinjaman, bank menerapkan gabungan beberapa
akad yang bersifat jual beli bagi nasabah bukan hutang piutang. Sementara untuk
mengatasi hutang piutang bagi orang tidak mampu, wakaf adalah jalan keluarnya.
Wakaf adalah hibah atau pemberian harta / tanah , uang dll diluar zakat bagi
orang yang mampu dengan harapan imbalannya dari Allah swt.
Abu Hurairah ra berkata, Nabi saw bersabda :”
Barangsiapa yang membebaskan orang mukmin dari kesempitan dunia maka Allah
akan membebaskannya dari kesempitan di Hari Akhirat. Barangsiapa yang memberi
kemudahan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan memberi kemudahan
kepadanya di dunia dan akhirat………”(HR. Muslim).
No comments:
Post a Comment